Pendapat Berbeda
Dalam putusan tersebut, empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, dan Manahan M.P. Sitompul. Keempatnya menyatakan meskipun UU Ciptaker memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting, namun UU ini sangat dibutuhkan saat ini. “Sehingga menurut kami, seharusnya permohonan pengujian formil UU Ciptaker harus dinyatakan ditolak,” ujar Arief membacakan pendapat berbeda.
Selain itu, keempatnya beralasan tahapan dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada sidang yang sama, Mahkamah juga memutus sebelas perkara lainnya terkait pengujian undang-undang, yakni Perkara Nomor 87, 101, 103, 105, 107, 108/PUU-XVIII/2020, serta Perkara Nomor 3, 4, 5, 6, 55/PUU-XIX/2021. Seluruh perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini karena UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sehingga pengujian materiil UU tersebut tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaan karena kehilangan objek permohonan.
Untuk diketahui, sebelumnya Mahkamah telah menggelar sidang untuk kedua belas perkara. Perkara Nomor 87/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang diwakili oleh Deni Sunarya (Ketua Umum) dan Muhammad Hafidz (Sekretaris Umum). Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas aturan perjanjian kerja antarwaktu sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44 UU Cipta Kerja.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 101/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diwakili oleh Said Iqbal, dkk. Para pemohon perkara tersebut mengajukan uji materi terhadap Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 UU Cipta Kerja. Para Pemohon menyatakan bahwa UU Cipta Kerja menimbulkan ketidakpastian hukum serta menghilangkan dan/atau menghalangi hak konstitusional para Pemohon. Pemohon mendalilkan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7); Pasal 27 Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 28E Ayat (3), dan Pasal 28I UUD 1945. Kemudian, permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua UU Cipta Kerja, yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU Cipta Kerja.
Sedangkan para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan 12 Pemohon lainnya. Mereka melakukan pengujian formil dan pengujian materiil UU Cipta Kerja antara lain Bab IV Bagian Kedua: 1) Pasal 81 angka 1 (Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No.13/2003) mengenai pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan. Selain itu Pasal 81 angka 2 (Pasal 14 ayat (1) UU 13/2003) bahwa lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Selanjutnya, Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 108/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Ignatius Supriyadi, Sidik dan Janteri berprofesi sebagai Advokat. Ketiganya menguji Pasal 6, Pasal 17 angka 16, Pasal 24 angka 44, Pasal 25 angka 10, Pasal 27 angka 14, Pasal 34 angka 2, Pasal 41 angka 25, Pasal 50 angka 9, Pasal 52 angka 27, Pasal 82 angka 2, Pasal 114 angka 5, Pasal 124 angka 2, Pasal 150 angka 31, Pasal 151 dan Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja.
Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK. Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Lainnya, Para Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Sudarto dan Yayan Supyan selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum pada Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI). 59, Pasal 61 ayat (1) huruf c, Pasal 61A, Pasal 164A, Pasal 156 Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan berlakunya Bab IV UU Cipta Kerja yang oleh pemerintah dan menjadi pengetahuan masyarakat disebut klaster ketenagakerjaan, dinilai sangat merugikan hak-hak konstitusional pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang diatur dalam UUD 1945.
Sedangkan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021. Para Pemohon melalui tim kuasa hukumnya mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Sedangkan Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh Putu Bagus Dian Rendragraha (Pemohon I) dan Simon Petrus Simbolon (Pemohon II) merupakan dua penyandang disabilitas. Dalam perkara ini, para Pemohon melakukan uji formil dan materiil Pasal 24 angka 4, Pasal 24 angka 13, Pasal 24 angka 24, Pasal 24 angka 28, Pasal 61 angka 7, Pasal 81 angka 15, dan Penjelasan Pasal 55 angka 3 UU UU Cipta Kerja terhadap UUD 1945.
Kemudian para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuan UU tersebut.
Terakhir, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 55/PUU-XIX/2021 ini dimohonkan oleh Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HakA) yang diwakili oleh Farwiza, dkk. Menurut Pemohon, penghapusan keterlibatan Pemohon dalam memberi masukan terhadap dokumen Amdal, sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (3) UU 32/2009 namun telah diubah oleh Pasal 22 angka 5 UU11/2020, jelas merupakan kerugian atau potensi kerugian konstitusional Pemohon untuk mencegah dan melindungi kerusakan lingkungan akibat dari proyek pembangun atau proyek skala besar yang wajib Amdal.
Sumber: MKRI