Pembelian Pertalite dan Solar akan Dibatasi, Mekanismenya Seperti Apa Ya? Yok Simak

grafis liputan6.com

JAKARTA (PNC) – Kabar mengenai bahan bakar minyak atau BBM subsidi Pertalite dan Solar kembali mencuat. Setelah sebelumnya pemerintah memastikan BBM jenis tersebut harganya tak naik, kini mencuat wacana pembatasan penggunaan kedua jenis BBM subsidi itu.

Pemerintah tengah menggodok aturan terkait penunjukan teknis pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar. Langkah pembuatan aturan pembelian Pertalite dan Solar ini agar penyalurannya dapat lebih tepat sasaran.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menjelaskan, regulasi itu akan mengatur dua hal, yakni kenaikan harga minyak dunia dan peralihan konsumen dari BBM nonsubsidi ke BBM bersubsidi akibat disparitas harga.

“Di dalam Perpres tersebut tidak hanya BBM jenis Pertalite yang akan disempurnakan, satu lagi yang lebih krusial BBM jenis Solar karena Solar masih disubsidi meskipun subsidi per liter, tetapi harganya masih sangat murah kalau dibandingkan dengan Solar nonsubsidi,” ujarnya dikutip dari laman liputan6.com.

Saat ini harga Solar bersubsidi di angka Rp 5.100 per liter, jauh lebih tinggi dibanding solar nonsubsidi yang hampir Rp 13.000 per liter.

Dia menyampaikan, Solar adalah prioritas pertama yang akan pemerintah atur karena BBM jenis ini digunakan tidak hanya oleh kendaraan bermotor, tetapi industri-industri pertambangan dan perkebunan, hingga kapal-kapal besar. Adapun Pertalite hanya terjadi pergeseran konsumen yang membuat volume penyalurannya bertambah.

Merujuk latar belakang, Perang Ukraina dengan Rusia telah membuat harga minyak dunia melambung terkhusus gasoline. Bahkan harganya terus naik selama beberapa minggu terakhir usai Rusia kena sanksi UE dan AS.

Tengok saja harga minyak dunia pada Kamis (2/6/2022), seperti dikutip dari CNBC. Tercatat harga minyak dunia jenis Brent menetap di USD 116,29 per barel, naik 69 sen atau 0,6 persen. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 59 sen atau 0,5 persen menjadi USD 115,26 per barel.

Imbas kenaikan harga minyak dunia beberapa waktu terakhir, ikut mengerek harga BBM di dalam negeri. Kondisi yang mendorong pemerintah kemudian menyesuaikan harga BBM nonsubsidi yakni Pertamax naik menjadi Rp 12.500 per liter pada 1 April 2022 lalu.

Sementara itu, pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga Pertalite yang membuat selisih harga BBM jenis penugasan ini juga serupa antara Solar dan Bensin. Hal itu lantas membuat konsumen beralih dari membeli Pertamax ke Pertalite.

Situasi itu yang membuat beban keuangan Pertamina semakin berat karena perseroan harus melakukan impor sekitar 50 persen untuk bensin dengan harga yang tinggi, sementara harga jual produknya justru tidak naik sesuai harga keekonomian.

“Dua hal ini yang akan diatur lebih lanjut oleh Perpres yang baru tersebut,” kata Djoko.

Sudah Dibahas di DPR

Rencana pemerintah untuk mengatur ulang soal Pertalite dan Solar ini nampaknya sudah dibahas dengan DPR.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan bahwa parlemen telah bertemu dengan PT Pertamina (Persero) dan BPH Migas membicarakan terkait aturan pembelian BBM bersubsidi.

Dalam pertemuan itu, Pertamina mengharapkan agar aturan pembelian bisa ditata supaya penyaluran BBM subsidi dan penugasan bisa lebih tepat sasaran.

“Ketika harga Solar yang tidak disubsidi semakin meningkat, artinya disparitas semakin tinggi, ini semakin rawan, sehingga solar harus diatur. Kemudian ketika menyusul Pertamax ikut naik terjadi hal yang serupa ada gap yang tinggi antara Pertalite dan Pertamax,” ujar politisi PKS tersebut.

Pemerintah kini tengah merumuskan konsumen yang berhak menerima BBM bersubsidi. Sekarang secara umum yang berhak menerima BBM bersubsidi adalah usaha kecil, usaha mikro, petani kecil lahannya di bawah dua hektare, kendaraan umum.

Dalam berbagai forum, lanjut Mulyanto, ia cenderung mengusulkan agar pemerintah memperketat pembelian Pertalite, di mana mobil mewah maupun mobil dinas tidak diperbolehkan menggunakan Pertalite termasuk juga Solar.

“Kami arahkan agar pembelian lebih tepat sasaran kepada yang membutuhkan. Jadi, itu urgensinya,” pungkas Mulyanto.

Mekanisme Pembatasan

Masih soal pembatasan konsumsi Pertalite dan Solar, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mendorong penggunaan aplikasi MyPertamina sebagai salah satu cara.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman menjelaskan, ke depan yang berhak mengisi Solar dan Pertalite harus melakukan registrasi di aplikasi My Pertamina, yang selanjutnya akan diverifikasi oleh BPH Migas.

 

“Ya solar kan JBT (jenis BBM tertentu), pertalite Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) kemudian kuotanya sudah ditentukan masing-masing 15,1 juta kiloliter dan 23,05 juta kiloliter, sementara kita proyeksikan kebutuhan lebih dari itu,” kata Saleh kepada Liputan6.com.

Sehingga penyaluran JBT dan JBKP harus tepat sasaran. Oleh sebab itu konsumen solar ini mesti tercatat atau registrasi dulu di MyPertamina,  kemudian diverifikasi. Jika berhak bisa mendapatkan solar.

Apabila telah disetujui, maka konsumen memiliki akses dan dapat membeli solar subsidi. Tentunya, agar petugas Pertamina tahu maka pembeli dihimbau untuk menunjukkan bukti sudah akses MyPertamina dengan bukti seperti QR Code.

Begitupun sebaliknya, bagi yang tidak terverifikasi. Maka konsumen tersebut tidak berhak menerima subsidi, dan harus membeli Jenis BBM umum (JBU).

Lebih lanjut, untuk menerapkan kebijakan pembelian BBM bersubsidi melalui MyPertamina, perlu dilakukan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Lantaran, Perpres tersebut mengatur siapa saja yang berhak membeli BBM subsidi.

“Betul (harus direvisi), tujuannya untuk menyesuaikan konsumen pengguna,” pungkasnya.

Kriteria Pengguna Pertalite dan Solar

 

Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T Pertamina Irto Ginting menjelaskan, saat ini pemerintah masih memfinalisasi kriteria penerima BBM subsidi.

“Saat ini masih finalisasi kriteria penerima subsidi,” jelas dia kepada Liputan6.com.

Dia menuturkan jika revisi kriteria penerima subsidi nantinya akan dituangkan dalam revisi peraturan presiden (perpres) nomor 191 tahun 2014 tentang tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Saat ini dikatakan jika penerima atau konsumen yang menikmati BBM subsidi masih sangat luas. Untuk itu perlu diatur dengan tepat.

 

Bila telah ada revisi, diharapkan nanti aturannya bisa lebih jelas mana yang bisa dan yang tidak boleh. “Sehingga implementasi di lapangan bisa clear. Tidak ada lagi perdebatan antara operator SPBU dan konsumen,” jelas dia.

Namun dia mengatakan, pemerintah dan regulator masih memfinalisasi perihal pihak yang berhak menerima BBM subsidi.***