JAKARTA (PNC) — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewariskan kenaikan jumlah perokok di Indonesia.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan hal ini berkaca pada data Global Adult Tobacco Survey (GATS) yang menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia meningkat 8,8 juta orang dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta orang pada 2021.
“Dengan melambungnya jumlah perokok di Indonesia ini menjadi legacy (warisan) yang sangat buruk dari Pemerintahan Jokowi. Legacy-nya sangat buruk, bukan hanya rapor merah tapi rapor hitam,” ungkap Tulus saat konferensi pers online, Jumat (3/6).
Menurut Tulus, kenaikan jumlah perokok ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang memperbolehkan aliran investasi ke industri rokok dan tembakau.
“Pemerintahan Jokowi sudah beberapa kali membuka perluasan industri rokok di Indonesia, baik rokok multinasional dan elektronik. Jadi memang masyarakat Indonesia dikorbankan untuk kepentingan investasi,” katanya dilansir.
Padahal, sambungnya, pemerintah ingin menurunkan tingkat gizi buruk (stunting) di Indonesia. Begitu juga dengan tingkat kemiskinan, di mana rokok menjadi penyumbang pengeluaran terbesar kedua di kalangan penduduk miskin.
Sementara pengeluaran untuk konsumsi beras, sayur, telur, susu, hingga daging berada di bawah rokok. “Artinya, rumah tangga miskin di Indonesia lebih mementingkan konsumsi rokok daripada zat bergizi,” tuturnya.
“Masa depan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan warga negara menjadi tumbal dengan dalih investasi,” lanjutnya.
Terkait tudingan ini, CNNIndonesia.com meminta tanggapan dari Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Perekonomian Panutan S. Sulendrakusuma. Namun, ia enggan berkomentar.
“Ke BKPM atau Kemenperin ya,” terang Panutan.
Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang belum merespons tudingan ini.
Menurut Tulus, pemerintah bisa mengurangi jumlah perokok di Indonesia dengan melarang penjualan rokok secara eceran. Sebab, penjualan rokok secara eceran membuat komoditas tersebut semakin mudah untuk dibeli, khususnya bagi kalangan remaja.
Selain itu, ia juga melihat pemerintah perlu melarang peredaran iklan rokok di internet. Pasalnya, semakin banyak kalangan muda yang mengakses internet setiap harinya.
Kedua hal ini bisa dilakukan dengan mengubah ketentuan penjualan dan peredaran informasi rokok di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Please (tolong) amandemen PP 109/2012 soal tembakau, lalu larang jual rokok ketengan karena remaja bisa beli. Dan larang juga iklan rokok di media internet,” pungkasnya.***