JAKART(PNC)–Bekerja memang sudah menjadi keseharian hampir setiap orang. Namun Anda perlu waspada jika Anda memiliki jam kerja panjang setiap minggunya. Bukannya tanpa sebab, analisis baru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional menyebut, jam kerja yang panjang membunuh sekitar 745.000 orang setiap tahun. Jam kerja panjang menurut WHO didefinisikan sebagai 55 jam per minggu atau lebih.
Studi yang dipublikasikan jurnal Environment International ini pun menjadi analisis global pertama tentang hilangnya nyawa terkait dengan jam kerja yang panjang.
Dalam studi itu, dipaparkan pada 2016 setidaknya ada 398.000 orang meninggal karena stroke dan 347.000 karena penyakit jantung sebagai akibat langsung dari bekerja setidaknya 55 jam seminggu. Angka ini tampaknya juga meningkat antara tahun 2000 dan 2016. Di mana jumlah kematian akibat penyakit jantung akibat jam kerja yang panjang meningkat sebesar 41,5 persen dan akibat stroke sebesar 19 persen.
Dari jumlah tersebut, studi mengungkapkan jika 72 persen kematian terkait pekerjaan dengan waktu panjang terjadi pada laki-laki. Risiko kematian tersebut terjadi pada orang paruh baya dan lanjut usia yang terus bekerja dalam waktu lama antara usia 45 hingga 74 tahun.
Studi yang sama juga menyebut jika saat ini 8,9 persen populasi dunia bekerja dengan jam kerja yang panjang. Asia Tenggara memiliki persentase orang yang bekerja dengan jam kerja panjang tertinggi, sedangkan Eropa memiliki persentase paling sedikit.
Perlu dicatat pula bahwa jumlah orang yang menjalai jam kerja panjang meningkat secara substansial antara tahun 2010 dan 2016. Peningkatan jam kerja ini dikatakan sebagai cerminan dari ketidakpastian ekonomi.
Selain itu, kehadiran gawai serta laptop telah memupuk budaya kerja baru, di mana orang tak pernah bisa benar-benar berhenti bekerja. Hal tersebut diperburuk dengan adanya pandemi COVID-19 yang makin mendukung perubahan budaya kerja baru, misalnya saja bekerja dari rumah.
“Pandemi COVID-19 telah mengubah cara kerja banyak orang secara signifikan,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari IFL Science.
Mengutip femina.co.id, Dr Tedros juga menggaris bawahi jika teleworking telah menjadi norma di banyak industri dan seringkali mengaburkan batasan antara rumah dan pekerjaan. Selain itu banyak bisnis terpaksa mengurangi atau menghentikan operasi untuk menghemat uang. Sementara orang yang masih bekerja akhirnya harus bekerja lebih lama.
“Tak ada pekerjaan yang sebanding dengan risiko stroke atau penyakit jantung. Pemerintah, pengusaha, dan pekerja perlu bekerja sama untuk menyetujui batasan untuk melindungi kesehatan pekerja,” ungkapnya.
Jika trend ini terus berlanjut maka itu akan menyebabkan masalah yang lebih dalam lagi bagi kesehatan global. Untuk mengatasi masalah tersebut, para peneliti berpendapat bahwa pemerintah perlu memperkenalkan, menerapkan, dan menegakkan kebijakan yang melarang kerja lembur wajib serta memastikan batas maksimum waktu kerja.
“Bekerja 55 jam atau lebih per minggu merupakan bahaya kesehatan yang serius. Sudah saatnya kita semua, pemerintah, pengusaha, dan karyawan menyadari fakta bahwa jam kerja yang panjang dapat menyebabkan kematian dini,” jelas Dr Maria Neira, Direktur Departemen Lingkungan, Perubahan Iklim dan Kesehatan WHO. (*/*)